Berkah Jadi Relawan Dapat Posko di Apartemen Mewah
Unknown
●
Selasa, 22 Januari 2013
Kondisi banjir di Jalan Pluit Raya Sabtu 19 Jan 2013 (Dok. pribadi)
“Pak Siddik, jalan saja ke Apartemen Mitra Bahari, kami tunggu di sini?”
“Di mana lokasinya itu Bang?”
“Lurus saja lewat Jalan Pluit Raya.”
“Lewat jalan yang banjir?”
“Ya. Pak. Lumayan jauh dan tinggi airnya. Hati-hati ya, Pak?”
Itulah percakapan saya dengan salah satu personel tim Relawan dari Indonesian Volunteer for Disaster Relief (IVDR) atau Relawan Indonesia (relindo) bernama Waldi. Saya bersama Waldi dan 4 rekan relawan lain dari Relindo dan BSM Care ikut bergabung dalam evakuasi korban banjir di Penjaringan Jakarta Utara pada Sabtu, 19/01/2013. Awalnya tugas saya menjaga peralatan dan logistik yang stand by di depan Rumah Sakit Atma Jaya di dekat Jalan Jembatan Tiga Pluit. Di sana sangat ramai dengan pengungsi dan relawan yang tak henti-hentinya mengalir.
Area yang terkena banjir di kawasan Pluit dan Penjaringan Jakarta Utara (Pengolahan Google Maps)
Waktu menunjukkan pukul lima sore lewat. Hujan mulai menguyur kawasan Pluit, tempat dimana konsentrasi massa korban banjir, warga dan relawan terkumpul. Saya memutuskan segera bergerak menembus banjir dengan membawa barang-barang penting alat komunikasi relawan lainnya. Warga penyewa alat angkutan banjir, relawan dan warga pengungsi terlihat berkurang di jalur banjir di Jalan Pluit Raya.
Bersama saya ada 4 orang yang menuju arah yang sama. Dua orang pemuda dengan logat Jawa Banyumasan yang akan menuju rumahnya menjadi teman setia saya selama perjalanan menemus banjir yang dalamnya menenggelamkan hingga 7/8 badan saya. Satu orang lainnya adalah Bapak-bapak tua yang sedang mendoron sepeda. Sepeda Bapak tua ini sudah tak terlihat lagi. Seorang lagi adalah pemulung yang menarik barang-barang pungutannya yang mengamang di atas Styrofoam.
Selama perjalanan, hujan sangat deras menguyur saya dan beberapa warga yang masih terlihat melintas di daerah banjir ini. Beberapa perahu karet dari relawan mulai kembali menuju ke arah Rumah Sakit Atmajaya. Saya berpapasan dengan dua perahu yang dipenuhi oleh personel TNI. Saya berharap perahu karet itu berhenti sejenak mengajak beberapa orang yang terutama Bapak tua pendorong sepeda dan pemulung ikut naik.
Saya hanya mengelus dada ketika melihat isi perahu itu hanya seorang bule dan perahu di belakangnya hanya dua orang wartawan. Sisanya ada lebih sepuluh personel TNI yang berada di dua perahu karet bermotor yang bergandengan yang melenggang begitu saja.
“Maaf, ya.” Begitu ungkapan salah satu personel TNI yang perahunya sempat membentur punggung saya karena saat membelok mereka kurang tepat.
“Lanjut .saja, Pak.” Balas saya.
Setelah melintasi pertigaan Jalan Pluit Raya 2 badan saya makin turun di telan genangan air banjir. Di titik dimana banyak Truk Tronton dan mobil mogok akibat terendam banjir, hanya kepala saya saja yang berada di permukaan air. Setelah melewati Jalan Pluit Raya 2, lalu lalang perahu karet dan gerobak pengangkut manusia hampir tak terlihat. Saya dan seorang warga yang akan mengunjungi keluarganya di dekat Apartemen Mitra Bahari yang tersisa di jalanan yang menjelma jadi sungai berair keruh dan tercemar limbah pabrik.
Badan saya mulai merasakan dinginnya air. Bangunan Apartemen Mitra Bahari, tempat yang saya tuju sudah terlihat. Bangunan berupa rumah susun mewah itu membangkitkan semangat saya untuk berkumpul dengan teman-teman satu tim. Mendekati Jalan Pluit Raya 3, semakin banyak Truk Tronton yang mogok dan terendam air dengan posisi yang tak beraturan. Ada juga mobil satpol PP yang hampir tenggelam seluruhnya dan teronggok begitu saja.
Setelah melewati pertigaan Jl. Pluit Raya 3, terlihat ada tanjakan yang kering dan beberapa warga berkumpul disana. Senang hati saya melihat jalan kering. Oh, tidak. Ternyata Apartemen yang saya tujuh masih sekitar 300 m lagi. Jarak 300 m itu adalah jalan dengan genangan air setinggi dada. Saya tetap bersemangat menembus banjir setelah melihat keramaian warga yang lalu lalang di pertigaan Jalan Gedong Panjang. Mobil, perahu karet gerobak dan warga terlihat ramai melintas.
Waldi dan kawan-kawan belum juga terlihat, sementara hujan semakin deras. Hanya jembatan penyeberangan jalan menuju Halte Busway tempat berteduh yang mudah. Di jembatan Halte Busway, saya berkumpul dengan warga pengungsi dari Tanah Pasir. Seorang Ibu curhat dengan saya tentang kondisi yang begitu kacau di pemukimannya. Beliau mengungkapkan bahwa tidak ada penanganan yang dari aparat pemerintah. Bahkan tadi paagi dia ditolak ketua RT untuk mengambil nasi bungkus bantuan donator hanya karena beda RT. Sang Ibu ini juga sedang galau karena menunggu suaminya yang dari tadi pergi ke Muara Baru. Beliau khawatir karena banjir di Muara Baru Penjaringan mencapai 2 m lebih dalamnya.
“Pak, di mana posisi?” suara Waldi terdengar dari HP yang sedang saya pegang.
“Saya di jembatan Busway.” Saya berbunga menjawab panggilan dari Waldi.
“ Saya sudah melihat Bapak. Turun saja ke depan gerbang Apartemen Mitra Bahari.”
Saya kemudian dibawa masuk ke gedung apartemen oleh Waldi. Saya pun lega ketika melihat teman-teman tim dari Relawan Indonesia yang sudah berkumpul di bagian depan lantai satu Apartemen. Kami mengobrol dan saling bercerita tentang proses evakuasi yang menegangkan dari mereka. Ada relawan yang menyelamatkan bayi berumur dua bulan. Ada juga teman relawan yang mengangkat seorang nenek lansia yang terjebak banjir.
“Pak, silahkan.” Kata seorang satpam sambil menydorkan satu teko cairan berwarna coklat.
Satu teko teh manis panas disuguhkan oleh manajemen apartemen. Alhamdulillah, lega dan senang rasanya, dapat minuman panas.
“Sudah shalat, Pak?” salah seorang relawan bertanya pada saya.
“ Maghrib belum, Zhuhur dan Ashar sudah tadi.”
“Ayo kita shalat di dalam.” Waldi dan relawan lain dari Tengerang mengajak saya ke dalam gedung apartemen.
Saya dan beberapa relawan masuk ke gedung apartemen mewah itu. Meski dalam kondisi basah kuyup, pihak manajemen hotel tak mempermasalahkan kondisi kami. Mereka bahkan menyambut baik kami dan mau menerima korban banjir yang sakit untuk ditampung di gedung mewah ini.
Usai salam kedua shalat Jamak Qashar Maghrib dan Isya’, saya merasa terharu. Beberapa pengungsi yang tepat berada di depan tempat saya shalat nampak tenang. Beberapa balita dan ibunya nampak bercengkrama. Sementara seorang nenek dan kakek lansia sedang tiduran santai di aula apartemen. Saya rasa mereka juga tidak menyangka bisa tidur di apartemen, seperti yang dirasakan juga oleh kami.
Alhamdulillah, berkah dari tugas kerelawanan membawa kami berada di tempat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Menginap di apartemen adalah sesuatu yang sangat mewah, apalagi buat kami para relawan yang memang sudah terbiasa dengan kondisi darurat.
“Pak, berapa orang kawan-kawan di sini? Kami mau buatkan sedikit makanan buat Bapak.”
Tanya seorang pria berpakaian rapi yang diketahui adalah manajer apartemen.
Hingga hari kemarin (Minggu, 20/01/2013), dilaporkan ada 100 pengungsi di posko Relawan Indonesia di Penjaringan Jakarta Utara. Mereka sangat membutuhkan nasi bungkus, pampers bayi dan selimut. Relawan Indonesia menfokuskan evakuasi pada warga yang sakit, lansia, naka balita dan wanita hamil. Mereka sementara ditampung di Posko Medis di Apartemen Mitra Bahari.
Saya jadi teringat sebuah ayat dalam Alqura’an.
“Dan mereka yang berjuang di jalan Kami maka Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami…”
Semoga para relawan dari berbagai elemen tetap semangat bekerja dengan tulus dalam proses evakuasi korban banjir Jakarta.
Salam Peduli!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search this blog
Follow Relindo Bali
Labels
- Berita (2)
- Skill (1)
- Tentang Kami (1)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar